Rabu, 13 November 2013

Syukur membawa Nikmat

عن أَبي هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ ثَلَاثَةً فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ أَبْرَصَ وَأَقْرَعَ وَأَعْمَى فَأَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَبْتَلِيَهُمْ فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ مَلَكًا
فَأَتَى الْأَبْرَصَ فَقَالَ أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ لَوْنٌ حَسَنٌ وَجِلْدٌ حَسَنٌ وَيَذْهَبُ عَنِّي الَّذِي قَدْ قَذِرَنِي النَّاسُ قَالَ فَمَسَحَهُ فَذَهَبَ عَنْهُ قَذَرُهُ وَأُعْطِيَ لَوْنًا حَسَنًا وَجِلْدًا حَسَنًا قَالَ فَأَيُّ الْمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ الْإِبِلُ أَوْ قَالَ الْبَقَرُ شَكَّ إِسْحَقُ إِلَّا أَنَّ الْأَبْرَصَ أَوْ الْأَقْرَعَ قَالَ أَحَدُهُمَا الْإِبِلُ وَقَالَ الْآخَرُ الْبَقَرُ قَالَ فَأُعْطِيَ نَاقَةً عُشَرَاءَ فَقَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِيهَا قَالَ فَأَتَى الْأَقْرَعَ فَقَالَ أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ شَعَرٌ حَسَنٌ وَيَذْهَبُ عَنِّي هَذَا الَّذِي قَدْ قَذِرَنِي النَّاسُ قَالَ فَمَسَحَهُ فَذَهَبَ عَنْهُ وَأُعْطِيَ شَعَرًا حَسَنًا قَالَ فَأَيُّ الْمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ الْبَقَرُ فَأُعْطِيَ بَقَرَةً حَامِلًا فَقَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِيهَا قَالَ فَأَتَى الْأَعْمَى فَقَالَ أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ أَنْ يَرُدَّ اللَّهُ إِلَيَّ بَصَرِي فَأُبْصِرَ بِهِ النَّاسَ قَالَ فَمَسَحَهُ فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيْهِ بَصَرَهُ قَالَ فَأَيُّ الْمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ الْغَنَمُ فَأُعْطِيَ شَاةً وَالِدًا فَأُنْتِجَ هَذَانِ وَوَلَّدَ هَذَا قَالَ فَكَانَ لِهَذَا وَادٍ مِنْ الْإِبِلِ وَلِهَذَا وَادٍ مِنْ الْبَقَرِ وَلِهَذَا وَادٍ مِنْ الْغَنَمِ قَالَ ثُمَّ إِنَّهُ أَتَى الْأَبْرَصَ فِي صُورَتِهِ وَهَيْئَتِهِ فَقَالَ رَجُلٌ مِسْكِينٌ قَدْ انْقَطَعَتْ بِيَ الْحِبَالُ فِي سَفَرِي فَلَا بَلَاغَ لِي الْيَوْمَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ بِكَ أَسْأَلُكَ بِالَّذِي أَعْطَاكَ اللَّوْنَ الْحَسَنَ وَالْجِلْدَ الْحَسَنَ وَالْمَالَ بَعِيرًا أَتَبَلَّغُ عَلَيْهِ فِي سَفَرِي فَقَالَ الْحُقُوقُ كَثِيرَةٌ فَقَالَ لَهُ كَأَنِّي أَعْرِفُكَ أَلَمْ تَكُنْ أَبْرَصَ يَقْذَرُكَ النَّاسُ فَقِيرًا فَأَعْطَاكَ اللَّهُ فَقَالَ إِنَّمَا وَرِثْتُ هَذَا الْمَالَ كَابِرًا عَنْ كَابِرٍ فَقَالَ إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا فَصَيَّرَكَ اللَّهُ إِلَى مَا كُنْتَ قَالَ وَأَتَى الْأَقْرَعَ فِي صُورَتِهِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَا قَالَ لِهَذَا وَرَدَّ عَلَيْهِ مِثْلَ مَا رَدَّ عَلَى هَذَا فَقَالَ إِنْ كُنْتَ كَاذِبًا فَصَيَّرَكَ اللَّهُ إِلَى مَا كُنْتَ قَالَ وَأَتَى الْأَعْمَى فِي صُورَتِهِ وَهَيْئَتِهِ فَقَالَ رَجُلٌ مِسْكِينٌ وَابْنُ سَبِيلٍ انْقَطَعَتْ بِيَ الْحِبَالُ فِي سَفَرِي فَلَا بَلَاغَ لِي الْيَوْمَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ بِكَ أَسْأَلُكَ بِالَّذِي رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ شَاةً أَتَبَلَّغُ بِهَا فِي سَفَرِي فَقَالَ قَدْ كُنْتُ أَعْمَى فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيَّ بَصَرِي فَخُذْ مَا شِئْتَ وَدَعْ مَا شِئْتَ فَوَاللَّهِ لَا أَجْهَدُكَ الْيَوْمَ شَيْئًا أَخَذْتَهُ لِلَّهِ فَقَالَ أَمْسِكْ مَالَكَ فَإِنَّمَا ابْتُلِيتُمْ فَقَدْ رُضِيَ عَنْكَ وَسُخِطَ عَلَى صَاحِبَيْكَ




Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dia pernah mendengar Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Ada tiga orang dari bani Israil, yaitu: Penderita penyakit sopak (belang), orang berkepala botak, dan orang buta. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat. Maka datanglah malaikat itu kepada orang pertama yang menderita berpenyakit sopak dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan ?”, Ia menjawab : “Rupa yang bagus, kulit yang indah, dan penyakit yang menjijikkan banyak orang ini hilang dari diriku”. Maka diusaplah orang tersebut, dan hilanglah penyakit itu, serta diberilah Ia rupa yang bagus, kulit yang indah, kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi ?”, Ia menjawab : “Unta atau sapi”. Ishaq (rawi) ragu. Kemudian diberilah Ia seekor unta yang sedang bunting, dan Ia pun didoakan : “Semoga Allah memberikan berkahNya kepadamu dengan unta ini.”
Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, ‘Kemudian Malaikat tadi mendatangi orang yang kepalanya botak, dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, Ia menjawab: “Rambut yang indah, dan apa yang menjijikan di kepalaku ini hilang”, maka diusaplah kepalanya, dan seketika itu hilanglah penyakitnya, serta diberilah Ia rambut yang indah, kemudian malaikat tadi bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang kamu senangi ?”. Ia menjawab : “Sapi atau unta”, maka diberilah Ia seekor sapi yang sedang bunting, seraya didoakan: “Semoga Allah memberkahimu dengan sapi ini.”
Kemudian malaikat mendatangi orang yang buta, dan bertanya kepadanya: “Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?”, Ia menjawab: “Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang”, maka diusaplah wajahnya, dan seketika itu dikembalikan oleh Allah penglihatannya, kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya: “Harta apakah yang paling kamu senangi ?”, Ia menjawab : “Kambing”, maka diberilah Ia seekor kambing yang sedang bunting.
Selanjutnya orang pertama dan kedua mengurusi kelahiran unta dan sapi mereka, demikian pula dengan orang ketiga, Ia mengurusi kelahiran kambingnya. Orang pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melanjutkan, ‘Kemudian datanglah malaikat itu kepada orang yang sebelumnya menderita penyakit sopak, dengan menyerupai dirinya disaat ia masih dalam keadaan berpenyakit sopak, dan berkata kepadanya: “Aku seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan yang banyak ini, aku minta kepada anda satu ekor unta saja untuk bekal meneruskan perjalananku”, tetapi permintaan ini ditolak dan dijawab : “Hak-hak (tanggunganku) masih banyak”, kemudian malaikat tadi berkata kepadanya: “Sepertinya aku pernah mengenal anda, bukankah anda ini dahulu orang yang menderita penyakit sopak, dan orang-orang merasa jijik kepada anda, dan dahulu pula anda orang yang miskin, kemudian Allah memberikan kepada anda harta kekayaan ?”, Dia malah menjawab: “Harta kekayaan ini warisan dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat”, maka malaikat tadi berkata kepadanya: “Jika anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan anda kepada keadaan anda semula”.
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak, dengan menyerupai dirinya disaat masih botak, dan berkata kepadanya sebagaimana ia berkata kepada orang yang pernah menderita penyakit sopak, serta ditolaknya pula permintaannya sebagaimana ia ditolak oleh orang yang pertama. Maka malaikat itu berkata: “Jika anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan anda seperti keadaan semula”.
Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta, dengan menyerupai keadaannya dulu disaat ia masih buta, dan berkata kepadanya: “Aku adalah orang yang miskin, yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini, kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan anda. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan anda, aku minta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku”. Maka orang itu menjawab: “Sungguh aku dulunya buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang anda sukai, dan tinggalkan apa yang tidak anda sukai. Demi Allah, saya tidak akan mempersulit anda dengan mengembalikan sesuatu yang telah anda ambil karena Allah”. Maka malaikat tadi berkata: “Peganglah (tahanlah, red) harta kekayaan anda, karena sesungguhnya engkau ini hanya diuji oleh Allah, Allah telah meridhai anda, dan memurkai kedua teman anda.” [Shahih, al-Bukhari No. 3464, Muslim No. 2964]


Asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab at-Tamimi an-Najdi –raheemahullaahu- memasukkan hadits ini dalam kitab beliau (Kitab Tauhid) dan memberi catatan pada poin keempat, “Maa fii haazhihil qishshatil ‘ajiibati minal ‘ibaril ‘adziimati” i.e Pelajaran-pelajaran besar yang tersimpan di dalam kisah yang unik ini. Kemudian pensyarh Kitabut Tauhiid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh –raheemahullaahu- menjelaskan kandungannya.

Apa Pelajaran Yang Bisa Kita Ambil?
Beliau (i.e asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan) –raheemahullaahu- mengatakan, “Ini adalah hadits agung yang mengandung pelajaran. Dua orang pertama mengingkari nikmat Allah, keduanya tidak mengakui nikmatNya, keduanya tidak menisbatkan nikmat kepada Sang Pemberinya, keduanya tidak menunaikan hak Allah padanya, maka keduanya mendapatkan murka. Adapun si buta, maka dia mengakui nikmat Allah, dia menisbatkan nikmat itu kepadaNya, dia menunaikan hak Allah padanya, maka ia memperoleh keridha’an dari Allah karena dia menunaikan hak syukur nikmat pada saat dia menunaikan tiga rukun syukur dimana syukur tidak tegak tanpanya, yaitu mengakui nikmat dan menisbatkannya kepada Sang Pemberinya i.e Allah Subhaanahu wa Ta’ala, serta membelanjakannya pada jalan yang Dia cintai.



Al-‘Allamah Ibn al-Qayyim (al-Jauziyyah) –raheemahullaahu- berkata i.e di dalam kitab Madarij as-Salikin 2/135-144: ‘Asal syukur adalah pengakuan terhadap pemberian nikmat dari Sang Pemberi nikmat disertai dengan ketundukan, kerendahan dan kecintaan kepadaNya. Barangsiapa tidak mengetahui nikmat, dia jahil (bodoh) terhadapnya, maka dia tidak mensyukurinya. Barangsiapa mengetahuinya namun dia tidak mengetahui Sang Pemberinya maka dia tidak bersyukur juga. Barangsiapa mengetahui nikmat dan Sang Pemberinya, namun dia mengingkarinya seperti seorang pengingkar mengingkari nikmat pemberi nikmat maka dia mengkufurinya. Barangsiapa mengetahui nikmat Sang Pemberi nikmat, mengakui dan tidak mengingkarinya, namun dia tidak tunduk kepadaNya, tidak mencintaiNya, dan tidak rela (ridha) kepadaNya, maka dia tidak bersyukur juga. Barangsiapa mengetahuinya, mengetahui Sang Pemberi nikmat, mencintai dan meridhaiNya, menggunakannya untuk ketaatan kepadaNya dan di jalan yang Dia cintai, maka inilah orang yang bersyukur. Syukur memerlukan ilmu hati, perbuatan yang mengikuti ilmu, yaitu kecenderungan kepada Sang Pemberi nikmat, mencintai dan tunduk kepadaNya’.” [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhiid, Bab Tafsir Fushshilat: 50]


== Selesai Kutipan ==


Adapun hal lain yang bisa kita ketahui dari dzahir hadits diatas adalah –CMIIW-;

[1]. Di jaman dahulu, masih ada orang-orang shalih dari kalangan bani Isra’il, seperti seorang buta yang dikisahkan dalam hadits diatas yang kokoh terhadap ajaran Nabinya

[2]. Nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepada seseorang adalah sebuah ujian, apakah ia bersyukur, tawadhu’ dan mampu merealisasikan syukur tersebut di jalan yang Allah cintai atau tidak. Adalah fakta bahwa tidak sedikit manusia yang terlena dengan nikmat yang Allah berikan hingga lalai mensyukurinya, tidak mengakui nikmatNya, tidak mau menisbatkan nikmat tersebut kepada Allah Ta’ala, tidak mau menunaikan hakNya dan tidak mau menggunakan nikmat itu di jalanNya sebagaimana seorang penderita sopak dan seorang botak yang dikisahkan dalam hadits diatas

Wallaahu Subhaanahu wa Ta’ala a’lamu..

Tafsir QS.Az-Zumar 2-3

artikel kali ini akan membahas tafsir QS. az-Zumar: 2-3 yang pernah kami singgung sebelumnya (mengenai) keadaan para pelaku kesyirikan di zaman jahiliyyah dahulu yang menyangkal telah melakukan penyembahan, meminta pertolongan dan berharap kepada illah selain Allah ‘Azza wa Jall dengan berargumentasi; Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Mereka yakin bahwa berhala-berhala yang mereka sembah, yang mereka ambil sebagai pelindung di sisi-sisi mereka itu mampu mendekatkan diri-diri mereka, atau menyampaikan harapan-harapan mereka kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Padahal berhala-berhala tersebut tidak mampu memberikan manfaat atau madharat sedikit pun kepada mereka. Jika kita bandingkan antara penyembahan/ pengagungan thoghut-thoghut oleh para pelaku kesyirikan di zaman dahulu dengan zaman sekarang (menggunakan akal sehat kita yang jernih) sekilas ada kemiripan. Bedanya orang-orang jahiliyyah pada zaman dahulu menyembah/ mengagungkan orang-orang shalih seperti al-Latta dan Uzza (i.e pembuat sawiq [adonan gandum] bagi jamaah haji, red)[1] atau Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr[2] (mereka adalah orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘Alaihissalam, red) dalam bentuk patung-patung sedangkan pelaku kesyirikan di zaman ini menyembah/ mengagung-agungkan secara ghuluw kuburan-kuburan orang-orang shalih beserta penghuninya.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman;
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2) أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (3
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” (QS. az-Zumar: 2-3)
al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy –rahemahullaahu-menjelaskan tafsir ayat diatas sebagai berikut;

قال: ( فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ ) أي: أخلص للّه تعالى جميع دينك، من الشرائع الظاهرة والشرائع الباطنة: الإسلام والإيمان والإحسان، بأن تفرد اللّه وحده بها، وتقصد به وجهه، لا غير ذلك من المقاصد

Allah berfirman; “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya.” Maksudnya, ikhlaskan kepada Allah Ta’ala seluruh agamamu, baik berupa syariat yang nampak dan syariat yang tidak nampak, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan, dengan cara mengesakan Allah Ta’ala dengannya dan dengan niat mengharapkan wajahNya, bukan niat apapun yang lainnya.”

( أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ) هذا تقرير للأمر بالإخلاص، وبيان أنه تعالى كما أنه له الكمال كله، وله التفضل على عباده من جميع الوجوه، فكذلك له الدين الخالص الصافي من جميع الشوائب، فهو الدين الذي ارتضاه لنفسه، وارتضاه لصفوة خلقه وأمرهم به، لأنه متضمن للتأله للّه في حبه وخوفه ورجائه، وللإنابة إليه في عبوديته، والإنابة إليه في تحصيل مطالب عباده وذلك الذي يصلح القلوب ويزكيها ويطهرها، دون الشرك به في شيء من العبادة. فإن اللّه بريء منه، وليس للّه فيه شيء، فهو أغنى الشركاء عن الشرك، وهو مفسد للقلوب والأرواح والدنيا والآخرة، مُشْقٍ للنفوس غاية الشقاء، فلذلك لما أمر بالتوحيد والإخلاص، نهى عن الشرك به، وأخبر بذم من أشرك به فقال

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih.” Ini adalah penegasan perintah ikhlas dan penjelasan bahwasannya Allah Ta’ala, sebagaimana halnya kepunyaanNya-lah semua kesempurnaan dan karunia atas hamba-hambaNya dari segala sisi, maka demikian juga hanya milikNya-lah agama yang bersih lagi bebas dari segala noda. Itulah agama yang diridhaiNya dan diridhai oleh manusia pilihanNya dan yang diperintahkan kepada mereka, sebab ia berisi mempertuhankan Allah dalam mencintaiNya, takut dan berharap kepadaNya, berinabah (kembali) kepadaNya dalam mencari segala kebutuhan hamba-hambaNya. Itulah yang bisa memperbaiki qalbu (hati), membersihkan dan menyucikannya; kecuali mempersekutukanNya dalam ibadah apapun, karena Allah Ta’ala anti darinya dan persekutuan itu tidak layak bagi Allah. Sebab, Dia adalah Rabb yang paling tidak membutuhkan syirik (persekutuan) dan syirik itu merusak kalbu, ruh, dunia dan akhirat dan sangat menyengsarakan jiwa dengan kesengsaraan yang paling menyakitkan.

Maka dari itu, setelah Allah memerintahkan tauhid dan ikhlas, Allah melarang syirik kepadaNya (mempersekutukanNya) dan Dia menginformasikan celaan terhadap siapapun yang mempersekutukanNya, seraya berfirman;


وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ) أي: يتولونهم بعبادتهم ودعائهم، معتذرين عن أنفسهم وقائلين  )

Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah”, maksudnya berlindung kepada mereka dengan menyembah dan berdoa kepada mereka, sambil mengemukakan pembelaan terhadap diri mereka dan berkata;


( مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى ) أي: لترفع حوائجنا للّه، وتشفع لنا عنده، وإلا فنحن نعلم أنها، لا تخلق، ولا ترزق، ولا تملك من الأمر شيئا أي: فهؤلاء، قد تركوا ما أمر اللّه به من الإخلاص، وتجرأوا على أعظم المحرمات، وهو الشرك، وقاسوا الذي ليس كمثله شيء، الملك العظيم، بالملوك، وزعموا بعقولهم الفاسدة ورأيهم السقيم، أن الملوك كما أنه لا يوصل إليهم إلا بوجهاء، وشفعاء، ووزراء يرفعون إليهم حوائج رعاياهم، ويستعطفونهم عليهم، ويمهدون لهم الأمر في ذلك، أن اللّه تعالى كذلك وهذا القياس من أفسد الأقيسة، وهو يتضمن التسوية بين الخالق والمخلوق، مع ثبوت الفرق العظيم، عقلا ونقلا وفطرة، فإن الملوك، إنما احتاجوا للوساطة بينهم وبين رعاياهم، لأنهم لا يعلمون أحوالهم. فيحتاج من يعلمهم بأحوالهم، وربما لا يكون في قلوبهم رحمة لصاحب الحاجة، فيحتاج من يعطفهم عليه [ويسترحمه لهم]  ويحتاجون إلى الشفعاء والوزراء، ويخافون منهم، فيقضون حوائج من توسطوا لهم، مراعاة لهم، ومداراة لخواطرهم، وهم أيضا فقراء، قد يمنعون لما يخشون من الفقر وأما الرب تعالى، فهو الذي أحاط علمه بظواهر الأمور وبواطنها، الذي لا يحتاج من يخبره بأحوال رعيته وعباده، وهو تعالى أرحم الراحمين، وأجود الأجودين، لا يحتاج إلى أحد من خلقه يجعله راحما لعباده، بل هو أرحم بهم من أنفسهم ووالديهم، وهو الذي يحثهم ويدعوهم إلى الأسباب التي ينالون بها رحمته، وهو يريد من مصالحهم ما لا يريدونه لأنفسهم، وهو الغني، الذي له الغنى التام المطلق، الذي لو اجتمع الخلق من أولهم وآخرهم في صعيد واحد فسألوه، فأعطى كلا منهم ما سأل وتمنى، لم ينقصوا من غناه شيئا، ولم ينقصوا مما عنده، إلا كما ينقص البحر إذا غمس فيه المخيط وجميع الشفعاء يخافونه، فلا يشفع منهم أحد إلا بإذنه، وله الشفاعة كلها فبهذه الفروق يعلم جهل المشركين به، وسفههم العظيم، وشدة جراءتهم عليه ويعلم أيضا الحكمة في كون الشرك لا يغفره اللّه تعالى، لأنه يتضمن القدح في اللّه تعالى، ولهذا قال حاكما بين الفريقين، المخلصين والمشركين، وفي ضمنه التهديد للمشركين

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Maksudnya, agar mereka mengajukan segala kebutuhan kami kepada Allah dan menjadi pemberi syafa’at bagi kami di sisiNya, kalau bukan demikian, maka sesungguhnya kami mengetahui bahwasannya berhala-berhala itu tidak bisa menciptakan sesuatu, tidak memberi rizki dan tidak memiliki sesuatu apapun. Maksudnya, orang-orang musyrik itu telah mengabaikan apa yang telah Allah Ta’ala perintahkan, yaitu ikhlas (tauhid), dan mereka dengan lancang telah melakukan perbuatan haram yang paling besar, yaitu syirik.

Mereka mengkiaskan Rabb yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, Yang Maharaja nan Mahaagung dengan raja-raja (penguasa). Mereka beranggapan berdasarkan akal mereka yang rusak dan pikiran mereka yang sakit, bahwasanya para raja tidak mungkin bisa langsung ditemui kecuali melalui orang-orang terdekatnya, orang-orang kepercayaannya, dan para menterinya yang mengajukan berbagai kepentingan (tuntutan) rakyatnya, dan membujuknya untuk mengasihani rakyatnya serta memudahkan segala permasalahan dalam hal tersebut, maka demikian juga (dengan) Allah Ta’ala.[3]

Analogi (qiyas) seperti ini adalah analogi yang paling rusak, karena mengandung makna penyetaraan sang Khaliq (Pencipta) dengan makhluq, padahal sudah pasti terdapat perbedaan yang sangat besar antara keduanya secara akal, syar’i dan fitrah. Para raja membutuhkan perantara (pembantu) yang menghubungkan mereka dengan rakyatnya, sebab mereka tidak mengetahui kondisi rakyat, maka dibutuhkan orang yang (bertugas) memberitahu mereka tentang kondisi rakyat secara langsung; dan barangkali tidak ada rasa kasih sayang di dalam hati mereka kepada orang yang mempunyai keperluan (tuntutan), sehingga dibutuhkan orang yang bisa membuat hati mereka kasihan kepada mereka. Dan mereka membutuhkan para pembantu dan para menteri, dan rakyat takut kepada mereka, sehingga para raja mau memenuhi kebutuhan orang-orang yang berperantara kepada mereka demi menghormati dan menjaga perasaan mereka. Para raja itu juga sebenarnya orang-orang fakir, kadang menahan sesuatu karena takut miskin.

Adapun Rabb, Allah Ta’ala, Dialah yang pengetahuanNya meliputi segala sesuatu, baik perkara-perkara yang nampak maupun yang tidak nampak. Dia tidak membutuhkan orang yang menginformasikan kepadaNya tentang keadaan hamba-hambaNya, dan Dia juga (Dzat) Yang Mahapengasih, Mahapemurah, tidak membutuhkan kepada salah seorang makhlukNya untuk menjadikanNya mengasihi hamba-hambaNya. Bahkan Dia lebih (kasih) sayang terhadap mereka daripada diri mereka sendiri dan daripada kedua orang tua mereka. Dia-lah yang menghimbau dan mengajak mereka untuk melakukan sebab-sebab yang dengannya mereka bisa mendapatkan rahmatNya, dan Dia menghendaki kemashlahatan mereka yang tidak mereka kehendaki untuk diri mereka. Dia-lah Yang Mahakaya, yang milikNya-lah kekayaan yang sempurna lagi absolut (mutlak), yang jika sendainya seluruh manusia dari yang terdahulu hingga kemudian terkumpul di satu tempat lalu semuanya memohon kepadaNya, kemudian Dia memberi masing-masing permohonan dan harapannya, maka mereka tidak (akan) mengurangi sedikitpun kekayaanNya dan mereka juga tidak mengurangi apa-apa yang ada di sisiNya kecuali seperti berkurangnya samudera apabila sebilah jarum ditenggelamkan ke dalamnya (lalu diangkat). Dan seluruh pemberi syafa’at takut kepadaNya, sehingga tidak seorang pun di antara mereka dapat memberikan syafa’at kecuali dengan izinNya, dan milikNyalah seluruh syafa’at.

Dengan perbedaan-perbedaan ini dapat diketahui (bagaimana) kebodohan orang-orang musyrikin, kedangkalan pikiran mereka dan betapa lancangnya mereka kepada Allah. Dan juga diketahui hikmah kenapa syirik itu tidak diampuni oleh Allah Ta’ala, yaitu karena syirik mengandung arti melecehkan Allah Ta’ala. Maka dari itu Dia berfirman sembari memberi keputusan antara kedua golongan; orang-orang yang bertahuid dan orang-orang musyrik, dan di dalamnya terdapat ancaman bagi kaum musyrikin,

( إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ )
وقد علم أن حكمه أن المؤمنين المخلصين في جنات النعيم، ومن  يشرك باللّه فقد حرم اللّه عليه الجنة، ومأواه النار

“Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya”. Sudah dimaklumi bahwa keputusanNya adalah bahwa orang-orang yang beriman yang berlaku ikhlas ditempatkan di dalam surga-surga kenikmatan, sedangkan siapa saja yang mempersekutukan Allah, maka Allah telah mengharamkan surga bagiNya dan tempat tinggalnya adalah neraka.

( إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي ) أي: لا يوفق للهداية إلى الصراط المستقيم ( مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ ) أي: وصفه الكذب أو الكفر، بحيث تأتيه المواعظ والآيات، ولا يزول عنه ما اتصف به، ويريه اللّه الآيات، فيجحدها ويكفر بها ويكذب، فهذا أنَّى له الهدى وقد سد على نفسه الباب، وعوقب بأن طبع اللّه على قلبه، فهو لا يؤمن؟

“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk”, maksudnya, tidak membimbing menuju hidayah pada jalan yang lurus, “orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” Maksudnya, orang yang karakternya adalah dusta atau kufur, dimana nasihat-nasihat dan ayat-ayat sampai kepadanya, maka apa yang menjadi karakternya tidak pernah hilang darinya. Dan Allah memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (mukjizat) namun ia mengingkari, kafir dan mendustakannya. Maka orang yang seperti ini, bagaimana mungkin bisa mendapatkan petunjuk, karena dia telah menutup pintu rapat-rapat atas dirinya sendiri, dan ia dihukum dengan ditutup oleh Allah akan hatinya, maka dari itu ia tidak beriman.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 6, juz. 23 dengan tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail]

Demikianlah tafsir QS. az-Zumar: 2-3 secara lengkap, mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahu Ta’ala a’lamu.
Dicopy-paste dari:
Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan vol 6, juz. 23 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail.
______
Footnote

[1]. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafizh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanadnya dari Sufyan dari Manshur dari Mujahid tentang firmanNya; “Maka apakah patut wahai orang-orang musyrik menganggap Latta dan Uzza?”, Dia berkata, “Dia mengaduk sawiq, ketika dia mati mereka mendatangi kuburannya.” Hal yang sama dikatakan oleh Abu al-Jauza’ dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallaahu ‘anhu-, “Dia membuat sawiq bagi jama’ah haji.” [Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan ‘alu asy-Syaikh]

[2]. Al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- menjelaskan dalam tafsirnya;

وهذه أسماء رجال صالحين لما ماتوا زين الشيطان لقومهم أن يصوروا صورهم لينشطوا -بزعمهم- على الطاعة إذا رأوها، ثم طال الأمد، وجاء غير أولئك فقال لهم الشيطان: إن أسلافكم يعبدونهم، ويتوسلون بهم، وبهم يسقون المطر، فعبدوهم، ولهذا أوصى رؤساؤهم للتابعين لهم أن لا يدعوا عبادة هذه الآلهة

“Ini sebenarnya adalah nama-nama orang shalih, dan ketika mereka meninggal dunia, syaithan menghiasi kaum mereka agar membuat patung mereka demi menyulut semangat mereka untuk beribadah ketika melihat patung-patung itu sesuai anggapan mereka. Masa pun berlalu dan datanglah generasi yang lain, syaithan berkata kepada mereka, “Para pendahulu kalian menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai wasilah (perantara), dengan mereka para pendahulu kalian meminta hujan, mereka menyembah patung-patung itu. Karena itulah, para pemimpin mereka berpesan untuk tidak meninggalkan penyembahan berhala-berhala ini.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 7, juz. 29 dengan tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail]

[3]. Analogi inilah yang sering mereka kemukakan tatkala ditanya, “Mengapa engkau menjadikan para penghuni kubur itu sebagai wasilah terhadap doa atau permohonan-permohonanmu?”. Cocok sekali dengan apa yang dijelaskan oleh al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- diatas

Dalil Puasa Arafah

SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA

Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.
“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” [1]
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” [2]
Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.
Diriwayatkan pada hadits lain.
“Artinya : Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]
“Artinya : Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” [4]
“Artinya :Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [5]
CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
[1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”
Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al 2/76):”Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.”
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434
Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
[2]. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[6]
Dalam riwayat lain :
“Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[7].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”
“Artinya : Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.
[3]. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
[a]. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
[b]. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
[c]. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan….”
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :”Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”
Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″
[4]. Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”
BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA
[1]. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
[2]. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
[3]. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
[4]. Membakar kemenyan.
[5]. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
[6]. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)
[7]. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
[8]. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
[9]. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”
Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.
“Artinya : Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.
Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.
Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122
Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.
“Artinya : Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,
“Artinya : Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88

Kamis, 17 Oktober 2013

Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah)? (Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)

Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama dua hari yaitu pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum mendapatkan haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari tarwiyah tersebut.
Alhamdulillah, pada hari ini 3 Agustus 1987 [seperti tertulis di dalam buku, admin] saya telah menemukan haditsnya yang lafadznya sebagai berikut.
صوم يوم التروية كفارة سنة، وصوم يوم عرفة كفارة سنتين
“Artinya : Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”.
Diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan :
[1]. Abu Syaikh dari :
[2]. Ali bin Ali Al-Himyari dari :
[3]. Kalbiy dari :
[4]. Abi Shaalih dari :
[5]. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Saya berkata : Hadits ini derajatnya maudhu’ (موضوع).
Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.
Pertama: Kalbi (no. 3) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbi. Dia ini seorang rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).
Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil:
[1]. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
[2]. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254, 255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban
[3]. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin no. 467 oleh Imam Daruquthni
[4]. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721 oleh Imam Ibnu Abi Hatim
[5]. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar
Kedua : Ali bin Ali Al-Himyari (no. 2) adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).
Kesimpulan:
[1]. Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) adalah hukumnya bid’ah. Karena hadits yang mereka jadikan sandaran adalah hadits palsu/maudhu’ yang sama sekali tidak boleh dibuat sebagai dalil. Jangankan dijadikan dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan maksud menerangkan kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama.
[2]. Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) adalah hukumnya sunat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu”. [Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]
Kata ulama : Dosa-dosa yang dihapuskan di sini adalah dosa-dosa yang kecil. Wallahu a’lam!
Disalin dari kitab Al-Masaa’il Jilid 2 (Masalah 48) hal. 176-178 , oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~. (Pustaka Darus Sunnah – Jakarta, Cetakan 4, Th. 1427H/2007M)

KELEBIHAN SEPULUH HARI AWAL BULAN ZULHIJJAH & KORBAN.

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين. وبعد:

Di antara kelebihan dan kurniaan Allah untuk hamba-Nya ialah dijadikan bagi mereka beberapa musim untuk memperbanyakkan amal ibadat dengan dijanjikan pahala yang berganda banyaknya.
Salah satunya ialah:

Beberapa dalil daripada Al-Quran dan Hadis telah menyebut tentang kelebihannya:
1. Firman Allah SWT:

 [ وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْر]

[سورة الفجر: 1-2]
Maksudnya: {Demi fajar dan malam yang sepuluh.} [Al-Fajr: 1-2]
Kata Ibnu Kathir:  Yang dimaksudkan di sini ialah sepuluh malam yang pertama pada bulan Zulhijjah. Demikian juga tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Az-Zubair, Mujahid dan lainnya. [HR: Imam Bukhari].
2. Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW telah bersabda:

((مَا مِنْ أَيَّامٍ، الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ  -يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ- قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟

قَالَ: وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ)). [رواه اأحمد 1968، والترمذي 757، واللفظ له].

Maksudnya: “Tidak ada hari yang amal soleh padanya lebih dikasihi Allah selain dari hari-hari yang sepuluh ini.” Para sahabat bertanya: Walaupun berjihad di jalan Allah?Rasulullah bersabda: “Walaupun berjihad di jalan Allah, kecuali lelaki yang keluar (berjihad) membawa diri serta hartanya dan tidak kembali lagi selepas itu (syahid).” [HR: Ahmad, At-Tirmizi].
3. Firman Allah SWT:

 {وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ} [سورة الحج: 28]

Maksudnya: {Hendaklah kamu menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan.} [Surah Al-Haj: 28].
Kata Ibnu Abbas RA: Maksudnya ialah hari-hari yang sepuluh itu.
4. Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:

((مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ، وَلا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ))

[رواه أحمد 5446-صحيح]
Maksudnya: “Tidak ada hari yang lebih besar di sisi Allah SWT dan beramal padanya lebih dikasihi oleh Allah dari hari-hari yang sepuluh ini. Maka perbanyakkanlah padanya bertahlil, bertakbir dan bertahmid.”
5. Adalah Said bin Jubir RA (perawi yang meriwayatkan Hadis Ibnu Abbas di atas) apabila tiba hari yang tersebut beliau beribadat bersungguh-sungguh sedaya-upayanya. [HR Ad-Darimi- Hasan].
6. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar: Yang jelasnya, di antara sebab keistimewaan sepuluh hari Zulhijjah ini ialah kerana terhimpun di dalamnya beberapa ibadat yang besar iaitu: Solat, puasa, sedekah dan Haji. Pada waktu lain, ibadat-ibadat ini tidak pernah terhimpun sebegitu.
AMALAN-AMALAN YANG BAIK DILAKUKAN PADA HARI-HARI TERSEBUT:
1. SOLAT. Disunatkan keluar cepat menuju ke tempat solat fardhu (berjemaah) dan memperbanyakkan solat sunat kerana ianya sebaik-baik amalan. Thauban RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda (maksudnya): “Hendaklah kamu memperbanyakkan sujud kepada Allah, kerana setiap kali kamu sujud kepada-Nya, Allah akan angkatkan darjatmu kepada-Nya dan dihapuskan kesalahanmu.” [HR Muslim]. Ini umum untuk semua waktu.
2. PUASA. Kerana ia juga termasuk di dalam amalan soleh. Dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari setengah isteri-isteri Rasulullah SAW berkata: “Rasulullah SAW berpuasa pada hari sembilan Zulhijjah, pada hari Asyura (10 Muharram) dan tiga hari pada setiap bulan.” [HR Imam Ahmad, Abu Daud dan Nasa’ei]
Kata Imam An-Nawawi: Berpuasa pada hari-hari sepuluh adalah sunat yang sangat digalakkan.
3. TAKBIR, TAHLIL dan TAHMID. Ini kerana hadis Ibnu Umar yang di atas mengatakan: “Maka perbanyakkanlah padanya bertahlil (mengucapkan La-ilaha-illaLlah), bertakbir (mengucapkan Allahu-Akbar) dan bertahmid (mengucapkan Alhamdulillah).”
Kata Imam Bukhari:  “Ibnu Umar dan Abu Hurairah RA menuju ke pasar pada hari-hari sepuluh dan bertakbir. Orang ramai yang mendengarnya kemudian turut bertakbir sama.”
Katanya lagi: “Ibnu Umar sewaktu berada di dalam khemahnya di Mina bertakbir, apabila orang ramai yang berada di masjid dan pasar mendengarnya, mereka turut bertakbir sama sehingga Mina riuh dengan suara takbir.”
Ibnu Umar RA bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut selepas mengerjakan solat, pada waktu rehat, di dalam majlis dan di semua tempat. Maka sunat mengangkat suara sewaktu bertakbir berdasarkan perbuatan Sayyidina Umar, anaknya dan Abu Hurairah RA.
Adalah patut sekali para muslimin sekarang menghidupkan kembali sunnah yang telah dilupakan pada hari ini, sehinggakan orang-orang yang baik pun telah melupakannya, tidak seperti  orang-orang soleh yang terdahulu.
Antara lafaz-lafaz takbir yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabiin:

الله أَكْبَر. الله أكْبَر. الله أكْبَر كَبِيْراً.

الله أكْبَر. الله أكْبَر. لا إِلهَ إِلا الله وَالله أكْبَر.

الله أكْبَر. وَلِلّهِ الْحَمْد.

الله أكْبَر. الله أكْبَر. الله أكْبَر.

 لا إِلهَ إلا الله وَالله أكْبَر.

الله أكْبَر. الله أكْبَر . وَلله الْحَمْد.

4. PUASA PADA HARI ARAFAH. Hendaklah berpuasa bagi sesiapa yang mampu pada hari Arafah (9 Zulhijjah) kerana amalan ini telah sabit dari Rasulullah SAW. Baginda telah bersabda mengenai kelebihannya.

 ((صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ)) [رواه مسلم]

Maksudnya: “Aku mengharapkan Allah menghapuskan kesalahan setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” [HR Muslim].
PERINGATAN: Ini hanyalah disunatkan untuk orang  yang TIDAK mengerjakan haji sahaja. Tetapi bagi jemaah haji yang sedang berwukuf di Arafah tidak disunatkan berpuasa kerana Rasulullah SAW tidak berpuasa sewaktu Baginda wukuf di Arafah iaitu pada tahun Baginda mengerjakan haji.
5. KELEBIHAN HARI RAYA KORBAN (YAUM AN-NAHR), 10 ZULHIJJAH.
Kebanyakan orang Islam telah lupa akan kelebihan hari ini. Kebesaran dan kelebihan perhimpunan umat Islam yang begitu ramai dari seluruh pelusuk dunia. Sesetengah ulama’ berpendapat hari ini ialah hari yang paling afdhal didalam setahun sehingga melebihi hari Arafah.
Kata Ibnu Al-Qayyim: Sebaik-baik hari di sisi Allah ialah hari Nahr, iaitu hari Haji yang besar (Hajj Al-Akbar), seperti yang tersebut di dalam Sunan Abi Daud [No.1765], hadis Rasulullah SAW yang bermaksud: “Sesungguhnya hari yang paling besar di sisi Allah ialah hari Nahr, kemudian hari Qar”. (Hari Qar ialah hari yang para jamaah haji mabit (bermalam) di Mina iaitu hari kesebelas Zulhijjah).
Setengah ulama’ lain pula berpendapat hari Arafah lebih afdhal kerana berpuasa pada hari itu mengampunkan dua tahun kesalahan, tidak ada hari lain yang Allah merdekakan hamba-Nya lebih ramai daripada hari Arafah dan pada hari itu juga Allah SWT turun menghampiri hamba-Nya dan berbangga kepada malaikat dengan hamba-Nya yang berwukuf pada hari tersebut.
Yang lebih tepatnya ialah pendapat yang pertama (Hari Nahr), kerana hadis telah jelas menyebutkan kelebihannya dan tidak ada yang menyalahinya.
Samada hari Nahr  atau hari Arafah yang lebih utama, hendaklah setiap muslim, yang bermukim atau yang mengerjakan haji mengambil peluang ini dengan sepenuhnya untuk mendapatkan kelebihan beribadat pada keduanya.
CARA MENYAMBUT MUSIM KEBAJIKAN:
1. Setiap muslim hendaklah menyambut kedatangan musim kebajikan umumnya dengan bertaubat yang sebenar-benarnya, meninggalkan segala dosa dan maksiat kerana dosalah yang menyekat manusia dari kebaikan dan menjauhkannya dari Tuhannya.
2. Menanam semangat dan azam yang kuat untuk mendapatkan keredhaan Allah SWT. Firman Allah SWT yang bermaksud: {Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keredhaan) Kami, nescaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama mereka yang berbuat baik.} [Al-Ankabut: 69].
Perhatian kepada mereka yang ingin melakukan Ibadat korban!
Sabda Rasulullah SAW: Maksudnya: “Apabila masuk sepuluh terawal bulan Zulhijjah dan seseorang itu telah berniat untuk menunaikan ibadat korban, maka janganlah dia membuang (memotong) bulu dan kukunya.” [HR Muslim].
Kata Imam Nawawi rhm: “Para ulama’ berbeza pendapat tentang hukum hadis ini, Imam Ahmad dan sebahagian ulama’ Syafei mengatakan haram perbuatan menghilangkan bulu tadi, tetapi Imam Syafei dan ulama’nya yang lain mengatakan ia adalah makruh tanzih (iaitu makruh yang tidak sampai kepada haram).” [Syarah Sahih Muslim].
Maka sebaik-baiknya bagi kita adalah mengelakkan perkara tersebut dan melakukan persediaan pada awalnya lagi untuk menghadapi larangan yang besar ini.
Akhirnya, sama-samalah kita berdoa semoga  kita dipilih oleh Allah untuk termasuk ke dalam golongan mereka yang berlumba-lumba untuk melakukan kebaikan. Sekian, wassalam.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وأصحابه أجمعين.

– Madinah Munawwarah, 30 Zulqi’dah 1418H / 28 Mac 1998.  Suntingan terbaru: 19 Zulqi’dah 1426H / 21 Dec 2005.
 [18 ذو القعدة 1433 هـ- 04/10/2012م]
Wallahu a’lam.

Hadis-Hadis yang menyebut tentang Fadhilat Sya’ban.Antara Amalan & Fadhilat Yang Sahih dan Palsu.

Bulan Sya’ban merupakan bulan yang mulia, terletak di tengah-tengah antara dua bulan yang mulia, iaitu bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram dan bulan Ramadhan merupakan bulan yang diwajibkan umat Islam berpuasa padanya.
Bulan Sya’ban terdapat beberapa kelebihan yang tersendiri sebagaimana yang disebut dalam hadis, namun banyak juga tersebar hadis yang dhaif atau maudhu’ (rekaan) tentang fadhilatnya, untuk menjelaskannya risalah ringkas ini ditulis, semoga menjadi panduan dan peringatan buat kita semua.
Terdapat hadis-hadis yang menyebut Nabi SAW banyak berpuasa pada bulan Sya’ban.
Kalau dikatakan, apakah hikmahnya memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban?
Maka jawapannya adalah perkataan Al-Hafiz Ibn Hajar:
“Yang lebih tepat apa yang diriwayatkan oleh Nasa’i dan Abu Daud serta disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Usamah bin Zaid, dia berkata, saya bertanya:
“Wahai Rasulullah, saya tidak melihat tuan (sering) berpuasa dalam satu bulan seperti tuan berpuasa di bulan Sya’ban?”
Baginda bersabda: “Itu adalah bulan yang kebanyakan orang melalaikannya yaitu antara Rajab dan Ramadhan. Yaitu bulan yang di dalamnya di angkat amalan-amalan kepada Allah, Tuhan seluruh Alam. Maka aku ingin amalanku diangkat, sedang aku dalam keadaan berpuasa.” [Dinyatakan hasan dalam Sahih An-Nasa’i, no. 2221].
Adalah mendukacitakan, ramai yang tidak berdisiplin dalam memetik hadis-hadis Nabi s.a.w tanpa mengira kethabitan iaitu kepastian tentang ketulenan sesebuah hadis, juga tidak meneliti takhrij dan tahqiq (keputusan) para ulama hadis terhadap kedudukannya. Lebih teruk lagi jika terus disebarkan kepada masyarakat tanpa menjelaskan kedudukannya.
Dengan itu apa-apa sahaja yang mereka temui daripada buku bacaan, yang dikatakan hadis maka mereka terus sandarkan kepada Nabi s.a.w. tanpa usul periksa, sedangkan mereka lupa akan amaran yang diberikan oleh baginda Nabi s.a.w. dalam hadis yang yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah:
إنَّ كذبًا عليَّ ليس ككذِبٍ على أَحَدٍ،
من كذبَ عليَّ متعمدًا فليتبوَّأْ مقعدَهُ من النارِ. (رواه البخاري)
“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka.”
(Riwayat al-Bukhari, Muslim).
Ini termasuk menyebut Nabi s.a.w. bersabda sesuatu yang baginda tidak pernah bersabda, atau berbuat, atau mengakui sesuatu yang Baginda tidak pernah melakukannya.
Hadis palsu ialah: “Hadis yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. secara dusta, ia tidak ada hubungan dengan Nabi s.a.w.” [lihat: Nur al-Din Itr, Manhaj al-Nadq fi ‘Ulum al-Hadis, m.s.301, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu‘asarah, Beirut].
Bukan sahaja membuat hadis palsu itu haram, bahkan meriwayatkannya tanpa diterang kepada orang yang mendengar bahawa ia adalah hadis palsu juga adalah sesuatu yang haram.
Contohnya, apabila muncul bulan Rejab dan Sya’ban maka hadis-hadis palsu mengenainya akan dibaca dan diajar secara meluas. Ramai
penceramah, imam, khatib dan media massa menyebarkan hadis-hadis palsu mengenai amalan-amalan yang dikatakan disunatkan pada bulan-bulan tersebut.
Antaranya hadis: “Rejab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadan bulan umatku.”
Begitu juga semua hadis mengenai puasa bulan Rejab dan solat pada malam-malam tertentu dan malam Nisfu Sya’ban adalah dusta ke atas Nabi s.a.w (kesemuanya adalah PALSU).
Kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751H): “Hadis-hadis mengenai solat Raghaib pada Jumaat pertama bulan Rejab kesemuanya itu adalah palsu dan dusta ke atas Rasulullah s.a.w”.
Sebenarnya hadis sahih mengenai kebaikan malam Nisfu Sya’ban itu memang ada, tetapi amalan-amalan tertentu khas pada malam tersebut adalah palsu.
Kelebihan Khas Malam Nisfu Sya’ban:
Hadis yang boleh dipegang dalam masalah Nisfu Sya’ban ialah:
عن أبي موسى الأشعري عبدالله بن قيس:
((إنَّ اللهَ لَيَطَّلِعُ في ليلةِ النِّصفِ من شعبانَ، فيَغفِر لجميعِ خلقِه إلا لمشركٍ أو مُشاحنٍ)).
“Allah melihat kepada hamba-hamba-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) [HR Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain. Al-Albani mensahihkan hadis ini dalam Silsilah al-Ahadis al-Sahihah. jilid 3, m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma‘arf, Riyadh].
Hadis ini tidak mengajar kita apakah bentuk amalan malam berkenaan. Oleh itu, amalan-amalan khas tertentu pada malam tersebut bukan daripada ajaran Nabi s.a.w.
Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab soalan berhubung dengan Nisfu Sya’ban:
“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban, membaca doa tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid.
Mereka membaca surah Yasin dan solat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca doa yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi‘in dan tabi’ tabi‘in). Ia satu doa yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan sunah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya.
Perhimpunan (malam Nisfu Sya’ban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bidaah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas.
Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bidaah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bidaah, dan setiap yang bidaah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka”. [Dr. Yusuf al-Qaradawi, fatawa Mu‘asarah jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut].
Inilah kenyataan Dr. Yusuf al-Qaradawi, seorang tokoh ulama umat yang sederhana dan dihormati. Kata al-Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah (seorang ulama hadis al-Azhar): “Masih ada para penceramah yang tidak ada ilmu hadis, sama ada ilmu riwayat atau dirayah (mengenai teks hadis).
Mereka hanya membaca hadis yang mereka hafal dan memetiknya tanpa mengetahui dan cuba memastikan kedudukan hadis tersebut.
Saya menyeru diri sendiri, para penceramah, ustaz-ustaz, media elektronik dan cetak, bahkan semua pihak yang membaca sesuatu hadis memastikan kesahihannya dahulu. Semoga Rejab dan Sya’ban tahun ini tidak dibaluti dengan pembohongan terhadap Nabi s.a.w. [Sumber: http://drmaza.com/home/?p=646]
HADIS-HADIS YANG LEMAH DAN PALSU TENTANG NISFU SYA’BAN
Berikut adalah beberapa contoh hadis-hadis lemah dan palsu tentang fadhilat malam Nisfu Sya’ban.
HADIS PERTAMA:
Daripada ‘Aisyah r.a, dia berkata: “Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah s.a.w. lalu saya keluar, ternyata baginda berada di Baqi’, lalu Rasulullah bersabda:
“Apakah kamu takut padahal Allah dan Rasul-Nya melindungimu?”
Saya (‘Aisyah) jawab: Ya Rasulullah, saya mengira engkau mendatangi sebahagian isterimu (yang lain).”
Baginda bersabda: “Sesungguhnya pada malam Nisfu Sya’ban Allah turun ke langit dunia lalu mengampuni lebih banyak dosa daripada banyaknya bulu kambing Bani Kalb.” [Hadis Riwayat Imam Ahmad, Imam Tirmidzi. “Dhaif Jiddan”].
HADIS KEDUA:
Daripada ‘Ali bin Abi Talib r.a, dia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika datang malam Nisfu Sya’ban, maka bangunlah pada malam harinya (untuk bersolat) dan berpuasalah pada waktu siangnya. Sesungguhnya pada saat itu sejak tenggelamnya matahari, Allah turun ke langit dunia seraya berfirman: “Ketahuilah, sesiapa yang meminta keampunan, maka Aku akan mengampuninya dan ketahuilah sesiapa yang meminta rezeki maka Aku akan memberinya, ketahuilah sesiapa yang sakit maka aku akan menyihatkannya, ketahui sesiapa yang begini aku akan begitu hingga terbit matahari. [Hadis riwayat Ibnu Majah – “Maudhu’”].
HADIS KETIGA:
“Wahai ‘Ali, sesiapa yang solat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban, pada setiap rakaat membaca surah al-Fatihah dan Qul huwallahu ahad 10 kali, Nabi s.a.w. bersabda: “Ya ‘Ali, tidaklah seorang hamba yang solat seperti ini kecuali Allah akan memenuhi setiap setiap keinginan dan permintaanya pada malam itu…
Komentar: Hadis ini adalah maudhu’ (palsu) sebagaimana dinyatakan Ibn al Jauzi di dalam al-Maudhu’aat, Ibn al Qayyim di dalam al-Manar al-Munif, al-Suyuthi di dalam al-Lali al-Masnu’ah.
HADIS KEEMPAT:
“Sesiapa solat dua belas rakaat pada malam Nisfu Sya’ban dengan membaca pada setiap rakaatnya Qul huwallahu ahad 30 kali, tidak keluar hingga melihat tempat duduknya di syurga…”
Komentar: Hadis ini adalah maudhu’ (palsu) sebagaimana dinyatakan Ibn al Jauzi di dalam al-Maudhu’aat, Ibn al Qayyim di dalam al-Manar al-Munif, al-Suyuthi di dalam al-Laali al-Masnu’ah.

Benarkah Membaca Surat Al Waqi’ah Rezeki Jadi Lancar?

Keutamaan surat Al Waqi’ah memang disebutkan di dalam banyak hadis, akan tetapi semua hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah karena sebagiannya lemah, bahkan ada yang palsu. Berikut ini di antara contoh hadis tersebut:
من قرأ سورة الواقعة في كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا
“Barangsiapa membaca surat Al Waqi’ah setiap malam, maka dia tidak akan jatuh miskin selamanya.”
Hadis di atas dikeluarkan oleh al Harits bin Abu Usamah dalam kitab Musnad-nya, no. 178, dikeluarkan pula oleh Ibnu Sunniy dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, no. 674, dikeluarkan pula oleh Ibnu Bisyron dalam Al ‘Amali, I:38:20, dikeluarkan juga oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan selainnya. Semuanya berasal dari jalan Abu Syuja’ dari Abu Thoyyibah dari Abdullah bin Mas’ud radliallahu’anhu
Keterangan
Hadis ini lemah karena dalam silsilah perawinya ada seorang yang lemah.
Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata,” Abu Syuja’ adalah seorang yang tidak jelas, tidak dikenal. Demikian juga ia meriwayatkan dari Abu Thayyibah, siapa Abu Thayyibah itu?” (maksudnya dia adalah perawi yang tidak dikenal juga)
Al Munawi rahimahullah dalam Fathul Qadir berkata,” Imam Az Zaila’i mengatakan bahwa ada perawi yang riwayatnya banyak cacat dari berbagai sisi. Pertama, riwayatnya terputus sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ad Daruquthni dan lainnya. Kedua, isi hadisnya munkar sebagaimana dijelaskan Imam Ahmad. Ketiga, perawi adalah orang-orang yang lemah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jazari. Keempat, sungguh hadis ini berguncang dan telah sepakat atas kelemahan hadis ini di antaranya adalah Imam Ahmad, Imam Abu Hatim Ar Razi, putranya, Imam Ad Daruquthni, Al Baihaqi dan selainnya…”
(diringkas dari buku Silsilah Adh Dha’ifah, no. 289)
Kemudian hadis lainnya adalah
من قرأ سورة الواقعة كل ليلة لم تصبه فاقة أبدا، ومن قرأ كل ليلة {لا أقسم بيوم القيامة} لقي الله يوم القيامة ووجهه في صورة القمر ليلة البدر
“Barangsiapa yang membaca surat Al Waqi’ah setiap malam maka dia tidak akan jatuh miskin selamanya. Dan barangsiapa setiap malam membaca Surat Al Qiyamah maka dia akan berjumpa dengan Allah di hari kiamat sedangkan wajahnya bersinar layaknya rembulan di malam purnama.”
Keterangan
Hadis di atas adalah PALSU / MAUDHU’ yang dikeluarkan oleh Ad Dailami dari jalan Ahmad bin Umar Al Yamami dengan sanadnya sampai Ibnu ‘Abbas radliallahu ’anhuma dan disebutkan oleh Al Imam As Suyuthi dalam Dzailul Ahadis al Maudhu’ah no. 177. Imam Ahmad berkata,” Ahmad al Yamami adalah rawi yang kadzdzab (yang suka berdusta).”
(dikutip dari buku Silsilah Adh Dha’ifah, no. 290)